https://palangkaraya.times.co.id/
Berita

Bisa Jadi Tanda Gangguan Jantung, Dokter: Waspada Nyeri Dada Saat Olahraga Lari

Rabu, 10 September 2025 - 04:15
Bisa Jadi Tanda Gangguan Jantung, Dokter: Waspada Nyeri Dada Saat Olahraga Lari Dokter Subspesialis Kedokteran Olahraga di RSUI Dr. dr. Listya Tresnanti Mirtha, Sp.KO., Subsp.APK(K), MARS dalam diskusi kesehatan persiapan olahraga lari di Jakarta, Selasa (9/9/2025) (FOTO: ANTARA/Fitra Ashari)

TIMES PALANGKARAYA, JAKARTA – Dokter Subspesialis Kedokteran Olahraga di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) Dr. dr. Listya Tresnanti Mirtha, Sp.KO., Subsp.APK(K), MARS mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai nyeri dada yang muncul saat sedang melakukan aktivitas fisik seperti berlari.

“Jadi ketika nyeri dada ketika berolahraga, ya nomor satu ditunda dulu untuk betul-betul dipastikan. Apakah nyeri ini ada kaitannya dengan gangguan di jantung, atau karena kurangnya persiapan,” kata Listya dalam acara diskusi kesehatan tentang persiapan olahraga lari di Jakarta, Selasa (9/9/2025).

Listya menjelaskan bahwa nyeri dada bisa disebabkan karena kurang pemanasan sebelum berolahraga. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan, disarankan untuk berhenti sejenak dan mengamati nyerinya. Jika nyeri berangsur hilang saat berhenti, kemungkinan bukan karena penyakit jantung. Namun jika nyeri terus berulang, ia menyarankan untuk tidak membiarkannya dan memeriksakan diri.

“Tapi juga jangan terlalu parno (paranoid), karena sering kali kurang pemanasan dan latihan yang berlebihan. Jadi terlalu sering tidak dengan tahapan yang benar, itu juga bisa menyebabkan nyeri dada juga,” katanya.

Listya juga mengingatkan karakteristik nyeri dada yang mengharuskan berhenti berolahraga, yaitu jika saat berlari dada terus terasa sesak disertai nyeri kepala. Ia menekankan untuk tidak langsung berhenti namun mengurangi kecepatan terlebih dahulu atau berjalan.

Selain itu, Listya menyarankan untuk melihat kesiapan diri saat ingin mulai berolahraga lari, dan tidak memaksakan diri untuk mengikuti pencapaian orang lain atau hanya takut tertinggal tren (FOMO). “Fomo itu boleh, tapi kita harus mengukur sejujur-jujurnya, dan tidak pernah boleh pasang target seperti orang lain. Target kita itu adalah target kita, harus sesuai dengan bagaimana start kita, jadi nggak boleh malu,” kata Listya.

WHO telah memberi pedoman bahwa bergerak sedikit lebih baik daripada tidak bergerak sama sekali, seperti berjalan minimal 150 menit per minggu. (*)

Pewarta : Antara
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Palangkaraya just now

Welcome to TIMES Palangkaraya

TIMES Palangkaraya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.